.
Apa yang ada di otak kita, ketika seseorang menuliskan kata “Jepang” di papan tulis. Disiplin, negara maju, harajuku, penjajah. Yup. Memang itulah adanya. Namun, pernahkah bertanya pada diri sendiri atau orang lain alasan orang Jepang berjalan dengan cepat? Melakukan sesuatu sangat cepat? Apapun serba cepat. Sehingga tidak heran di Jepang ada kereta listrik tercepat di dunia ‘Shinkasen’.
Atasan Jepang saya memberikan alasan yang membuat otak terus bepikir sejak tadi. Sebenarnya jawabannya simple ” karna di otak kami sudah di tanamkan sejak dini kalau waktu hanya 24 jam saja. Tidak lebih!”
Apa maksudnya?
Begini , waktu kita yang hanya 24 jam itu sudah terbagi-bagi menjadi beberapa bagian.
Bagian 1 : 8 jam untuk bekerja.
Bagian 2 : 8 jam untuk kita tidur.
Bagian 3 : 8 bagian untuk makan, minum, hang out etc, intinya mengerjakan sesuatu yang kita sukai.
---FOU----
Namaku Fou.
Nama yang unik bukan? Dulu seperti itu Ibuku memujiku. Ia selalu bilang “apapun arti namamu, itu lah yang terbaik buatmu.”
Namun tahu kah? Namaku justru menuntunku pada arti dari nama itu.
*****
Aku menutup mulutku sambil menatap penuh haru pada pria di hadapanku. Seorang pria yang sedang duduk bersimpuh sambil memegang sebuah kotak cincin. Ia melamarku di antara lalu lalang penjalan kaki di Champ de Mars — kawasan hijau nan luas di sebelah tenggara menara Eiffel.
“ Veux-tu m'épouser ? — Maukah kamu menikah denganku?” Begitu kalimat yang diucapakan pria itu padaku.
Jujur. Wanita mana yang tidak bahagia ketika seorang pria yang di cintainya melamarkan di sebuah taman romantis seperti ini? Apalagi ini, Adrien. Pria berkebangsaan Perancis tampan nan gagah yang sudah hampir 6 bulan menjalin hubungan denganku.
Tidak ada keraguan lagi untukku untuk tidak menerimanya. Aku menyambut tangan yang masih memegang kotak beludru biru yang berisi cincin sebagai tanda aku menerimanya.
Adrien bangkit dengan pendar-pendar kebahagian tercuat dari wajahnya. Pelukan hangat serta ciuman lembut segera kudapat darinya. Beberapa pengunjung taman tampak haru melihatnya.
Namaku Fou.
Nama yang unik bukan? Dulu seperti itu Ibuku memujiku. Ia selalu bilang “apapun arti namamu, itu lah yang terbaik buatmu.”
Namun tahu kah? Namaku justru menuntunku pada arti dari nama itu.
*****
Aku menutup mulutku sambil menatap penuh haru pada pria di hadapanku. Seorang pria yang sedang duduk bersimpuh sambil memegang sebuah kotak cincin. Ia melamarku di antara lalu lalang penjalan kaki di Champ de Mars — kawasan hijau nan luas di sebelah tenggara menara Eiffel.
“ Veux-tu m'épouser ? — Maukah kamu menikah denganku?” Begitu kalimat yang diucapakan pria itu padaku.
Jujur. Wanita mana yang tidak bahagia ketika seorang pria yang di cintainya melamarkan di sebuah taman romantis seperti ini? Apalagi ini, Adrien. Pria berkebangsaan Perancis tampan nan gagah yang sudah hampir 6 bulan menjalin hubungan denganku.
Tidak ada keraguan lagi untukku untuk tidak menerimanya. Aku menyambut tangan yang masih memegang kotak beludru biru yang berisi cincin sebagai tanda aku menerimanya.
Adrien bangkit dengan pendar-pendar kebahagian tercuat dari wajahnya. Pelukan hangat serta ciuman lembut segera kudapat darinya. Beberapa pengunjung taman tampak haru melihatnya.
Satu kata yang selalu tertanam di otak saat membaca dongeng-dongeng dari negeri antah berantah adalah " Happily Ever After - Hidup bahagia selamanya ." Mungkin untuk ukuran dongeng seperti itu. Kehidupan itu pasti berjalan sesuai yang diharapkan dan di inginkan, karna di dongeng itu ada sosok peri yang selalu membantu jika seseorang ditimpa masalah dan mampu membalikkan kehidupan berjalan normal kembali.
Tapi sayangnya, In the Real world, there is no fairy who can help you to solve your problem. Bahkan di kehidupan nyata manusia itu harus berusaha untuk menghidupkan khayalannya tentang kata " Happily Ever After " tersebut karna hidup itu tidak seindah yang dibayangkan dan di harapkan. Semua problematika kehidupan seakan-akan bersiap-siap untuk menerkam. Seakan-akan tidak membiarkan manusia itu hidup sesuai apa yang di inginkannya. Bahkan problem tersebut mampu membuat manusia itu ingin mengakhiri hidupnya. Sehingga di sini manusia itu di tuntut untuk berlaku seperti peri yang bisa dengan cepat mampu mengatasi masalah yang menimpanya.
Hari ini terinspirasi oleh tulisan Anton Diaz di salah satu artikel majalah Clara tentang pegelaran fashion yang di kunjunginya saat itu yang bertema La Femme Fatale atau wanita penakluk. Tulisannya mampu membuka pikiran saya dan hasrat saya untuk menulis sesuatu yang bertemakan itu. Bukan tentang fashion pastinya dan bukan tentang seorang wanita yang menjadi penakluk pria. Tapi tentang sebuah kondisi yang membuat wanita itu terlihat tangguh di mata saya.
Dulu wanita selalu di indentikan dengan sifat lemah. Tidak bisa melakukan apapun kecuali untuk urusan dapur. Mudah terluka dan sulit untuk bangkit lagi. Jauh berbeda dengan kaum pria. Mereka jauh lebih kuat dan dapat di andalkan. Bisa melakukan pekerjaan apapun dan dimanapun. Namun, saya sedikit berbangga hati ketika salah satu dosen saya yang berjenis kelamin laki-laki mengatakan bahwa wanita itu jauh lebih hebat di bandingkan seorang pria. Saya tergelitik mendengarnya. Apa maksudnya? Bagaimanapun seorang pria pasti lebih hebat dan kuat di bandingkan dengan wanita.
Dosen saya pun mencoba menjelaskan pernyataannya tadi. Menurutnya, wanita itu lebih hebat karna mampu menanggung berkilo-kilogram beban yang ada di perutnya selama sembilan bulan saat wanita itu hamil, dan di saat kondisi yang bersamaan wanita itu dengan hebatnya mampu berkerja pula.