Rain & Tears
12:54:00 PM
Hujan terus membasahi sudut jalan ini. Sudah berhari-hari Jakarta selalu di guyur hujan. Padahal setahuku di bulan ini, hujan belum semestinya datang. Namun, entah mengapa hujan sepertinya tidak sabar ingin membasahi kota.
Mataku tiba-tiba menangkap sosok yang tengah begitu tenang menikmati hujan tidak jauh dari halte bus tempatku menunggu bus yang akan lewat. Setiap tetesan air hujan yang menyentuh wajahnya seakan-akan memberikan ketenangan bagi hidupnya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tanda tidak setuju dengan apa yang sosok itu lakukan, bagiku membiarkan hujan jatuh di tubuhku berarti membiarkan tubuhku untuk merasakan demam yang akan kurasakan berkepanjangan.
Kini ku coba mengalihkan pandanganku pada sesosok itu dengan bus yang sedari tadi mondar-mandir di jalanan. Namun aku tidak berhasil menemukan bus yang biasa aku naiki. Biasanya jam seperti ini, bus itu sudah lewat di halte ini. Apa mungkin karna hujan membuat bus itu berhenti beroparasi? Tidak masuk akal.
Setelah hampir 30 menit aku menunggu dan orang-orang di sekitarku mulai berkurang, bus itu tidak kunjung datang. Aku mengumpat kesal atas hal ini. Bagaimana mungkin aku bisa menunggu tanpa kepastian di halte bus ini, apalagi Ibuku pasti sudah khawatir pada anak gadisnya yang sudah jam segini belum pulang dari sekolahnya juga.
Aku menarik napas kekesalanku dan menghembuskannya dengan kasar. Mataku kemudian menatap kembali sosok yang masih saja menikmati hujan itu. Tiba-tiba alisku berdenyit saat sosok itu tiba-tiba duduk disebalahku. Perlahan aku menoleh memperhatikan sosok itu. Seorang pria dengan senyuman dingin dan wajah serta tubuh yang basah kuyup akibat hujan mampu membuatku keheranan setengah mati.
“ Aku suka hujan!” katanya memberitahukanku.
Aku yang tidak menyangkanya akan berbicara padaku, hanya melongo seperti orang bodoh sambil memperhatikan sekelilingkku mencari tahu siapa yang sebenarnya di ajak bicara olehnya. Aku atau orang lain? Namun sialnya, aku tidak menemukan seorang pun di halte ini lagi selain kami berdua.
“ Kamu berbicara padaku?” tanyaku padanya.
Pria itu menoleh padaku dengan senyuman tulusnya. Aku yang menyadari senyuman manisnya hanya terdiam seakan-akan terpesona oleh sosok indah di hadapanku. Entah mengapa menatapnya seperti mampu membuat seluruh tubuhku seperti tersengat listrik, membuat napasku seperti tercekat di tenggorokkan, dan mampu membuat jantungku berdegub kencang.
Oh Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Pria itu seperti menyadari perubahan yang ada padaku saat menatapnya, sehingga ia mengalihkan pandanganku pada jalanan yang membentang di hadapannya. Menyadari hal itu, aku kemudian menelan ludah sambil mengalihkan pandanganku pada objek lain.
“ Bagiku, hujan itu seperti sebuah bisikan lembut yang berbicara cinta. Sentuhannya mampu membuatku mengerti akan makna di baliknya bahkan di saat diriku menutup mata dan telingaku,” ujar pria itu melanjutkan kata-katanya.
Aku hanya tertegun diam tidak mengerti dengan apa yang di katakannya. Hanya sebuah senyuman keterpaksaan yang berhasil melintas di wajahku. Ah, ada orang aneh yang sedang berpuisi di hadapanku kali ini — gumanku dalam hati.
Tiba-tiba , sebuah bus yang sedang kutunggu dari tadi datang juga. Tanpa berlam-lama aku langsung bangkit dan meninggalkan pria itu yang masih duduk menatap hujan yang semakin mereda tanpa pamit padanya. Di dalam bus, aku menoleh sesaat padanya. Tatapan mata kosong dan dingin seakan menyiratkan isi hatinya.
****
Ke Esokan harinya..
Hari ini tidak berbeda dengan hari kemarin. Bus yang sudah hampir setengah jam kutunggu belum datang juga bahkan pria yang kemarin duduk di sebelahku kini kembali duduk di sebelahku lagi. Padahal dari sekian banyak orang yang menunggu bus di halte ini, kenapa harus aku yang menjadi incaran untuk mendengarkan falsafah hujannya?
“ Aku ingat kala hujan, seorang gadis mengelus rambutku dengan lembut dan mau berbagi cerita padaku. Aku ingat kala itu, jelas teringat di otakku,” ujar pria itu yang membuat diriku tersentak dan menoleh ke arahnya.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang di utarakan padaku. Bagiku kata-katanya seperti sebuah ungkapan-ungkapan kata hatinya. Dan itu membuatku terus menggerutu dalam hati saking kesalnya.
Bus yang aku akan tumpangi datang juga. Seperti kemarin, aku meninggalkan pria itu yang masih terduduk diam sambil menatap hujan rintik yang membasahi Jakarta sedari tadi.
****
Sudah hampir seminggu lebih pria ini duduk di sebelahku dan menceritakan hal yang sama tentang hujan padaku. Baginya hujan adalah hal terpenting di seluruh topik pembicaraanya. Dan hal itu membuatku yakin kalau ada yang aneh pada pria ini.
“ Temani aku, Lana! Kali ini saja! Setelah itu, aku tidak akan mengganggumu lagi!” ujar pria itu tiba-tiba.
Aku sontak kaget dengan permintaannya. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau pria ini akan berani mengajakku, bahkan mengetahui dengan pasti namaku. Padahal seingatku, aku tidak pernah memberitahukan namaku padanya.
“ Kamu mengenalku?” tanyaku memastikan.
“ Apakah aku harus mengatakannya? “ tanyanya dengan pelan.
Sebelah alisku naik dengan sendirinya. Aku tidak menyangka pria ini akan menjawab pertanyaanku seperti itu.
“ Harus!” jawabku ketus.
“ Temani aku!” pintanya sekali lagi seakan –akan ia telah memberi tahukan jawabannya padaku.
Entah mengapa, tanpa aku pikir lagi, aku mengiyakan permintaannya untuk menemaninya entah kemana.
Sepanjang perjalanan, ia terus bercerita seakan-akan ia tidak punya waktu lagi untuk menceritakannya padaku. Anehnya, aku masih setia mendengarkannya walalupun ku tahu, semua ceritanya berkisah tentang hujan dan gadisnya. Kadang timbul pertanyaan di otakku, siapa gadis itu yang berhasil mempengaruhi setiap detik cerita dari pria itu? Entahlah, biarkan cerita itu menjadi misteri buatku dan kenangan baginya.
Tiba-tiba hujan rintikpun mulai datang. Dengan sigap aku mencari tempat berteduh, namun sebuah tangan kokoh menghentikan langkahku dengan manarik tanganku.
“ Sekali ini, cobalah untuk menikmati hujan, Lana! Karna nantinya, kamu akan mengerti maksud dari kata-katanya,” pinta pria itu sambil menatapku dengan teduh.
Aku yang menyadari tatapan lembutnya padaku membuat hatiku tiba-tiba berdesir indah. Kata-katanya seperti mampu menghipnotisku untuk melakukan hal itu.
“ Baiklah!” jawabku mengiyakan.
Pria itu tersenyum lembut padaku dan berkata , “ tutup matamu dan biarkan setiap tetesan hujan menyentuh kulitmu!”
Kututup mataku dan berusaha merasakan tetesan hujan menerpa wajahku. Hening dan tenang . Itu yang aku rasakan. Tiba-tiba ku dengar bisikan lembut yang mampu membuatku yakin akan satu hal.
“ Terima kasih, Lana! Terima kasih! Aku ingat semuanya. Ceritamu, doa mu, dan kamu! Mungkin aku terlambat untuk mengatakannya, karna kamu telah melakukannya sejak lama. Namun entah mengapa, aku merasa ini adalah saat yang tepat untuk memberitahukanmu dan mengingatkanmu akan diriku,” ujar pria itu lirih.
Perlahan ku buka mataku dan mendapati pria itu mencium pipiku dengan lembut. Seakan-akan ini adalah kado yang pantas buatku. Jujur, tidak ada perasaan kesal padaku saat ia menciumku. Bagiku , ini adalah sebuah adegan indah bagiku. Aku tersenyum tulus padanya.
****
Sudah lebih dari setahun aku tidak mengunjungi makam itu. Aku sudah lupa kapan terakhir aku mengujunginya. Aku ingat betul ketika pertama kali aku mengunjungi makam itu. Di saat aku merasa terluka akan sikap pacarku yang mengkhianatiku, di saat itulah aku datang ke makam ini. Jujur tempat ini mampu memberikan ketenangan bagi jiwaku saat itu. Mampu memberikan celah bagiku untuk bersikap jujur akan perasaanku.
Aku duduk di samping makam yang selama ini menjadi tempat bagiku untuk mencurahkan isi hatiku. Mencurahkan semua kegalauan hatiku. Dan menceritakan semua hal yang ku alami termasuk cerita tentang pria hujan itu. Padahal jujur saja, aku tidak mengetahui dengan pasti siapa yang sedang terbaring lama di tempat ini.
*****
“ Lana!” panggil seseorang di belakangku.
Aku menengok kebelakang. “ Apa?” tanyaku pada Marina.
“ Temani gue yah?” pintanya.
“ Kemana?” tanyaku penasaran.
Dengan hati-hati Marina menjawab pertanyaanku. “ Udah! Temani gue yah!” rengek sabahatku ini.
Tidak beberapa lama, kami sampai di sebuah tempat yang tidak asing bagiku.
“ Ke makam?” tanyaku memastikan tempat dimana mobil Marina berhenti.
Marina hanya tertawa terkekeh sambil memperlihatkan wajah lucunya padaku.
“ Iya, gue kangen sama dia!” ujar Marina jujur.
“ Siapa?” tanyaku.
“ Udah, ikut aja yah!”
Aku menyetujui permintaan Marina. Kami mulai melangkah menyusuri makam yang tersusun rapih dengan rumput hijau di atasnya.
“ Cowok ini!” tunjuk Maria pada sebuah majalah yang memampang foto cowok itu.
Mataku terbelalak lebar melihat foto yang ada di wajah itu. Pria Hujan?
“ Dan itu makamnya!” ujar Marina menunjuk sebuah makam di hadapanku.
Aku menutup mulutku tanda tidak percaya dengan apa yang kulihat. Pria hujan yang sering ku temui di halte bus adalah seseorang yang sedang tertidur di makam yang selama ini sering menjadi tempatku mencurahkan semua isi hatiku padanya? Tidak dapat di percaya.
“ Kasihan! Padalah elo tau nggak kalau cowok ini adalah model terkenal Jakarta. Ia meninggal saat ingin mengatakan cinta pada kekasihnya. Waktu itu karna kecelakaan mobil, dan gue adalah fans beratya” ujar Marina menjelaskan.
Aku masih terdiam menatap makam itu dan nama yang tertera di batu nisan itu. Arya Widjaya. Tanpa sadar, air mataku turun membasahi pipiku saat ini juga bersamaan dengan rintik hujan yang mulai jatuh ke bumi.
Kini aku mengerti dengan semua ungkapan yang pernah Arya utarakan padaku.
" hujan itu seperti sebuah bisikan lembut yang berbicara cinta. Sentuhannya mampu membuatku mengerti akan makna di baliknya bahkan di saat diriku menutup mata dan telingaku."
Terima kasih, Arya karna telah membuatku mengenalmu walaupun dalam rintik hujan.
0 comments